Berkenaan dengan diberlakukannya
zona perdaganagn bebas Tiongkok – ASEAN (AFTA dan CAFTA) mungkin bagi anggota
dewan kompasioner yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi agak kurang
memahami (implikasi)nya. Apakah itu akan baik atau buruk bagi kita? Apa akibat
yang paling mungkin akan terjadi bagi (ekonomi) negara kita akibat adanya
perdangangan bebas semacam itu. Semoga tulisan ini sedikit memberikan gambaran.
Apa yang dimaksud dengan perdagangan
bebas internasional adalah perdagangan antar negara yang bebas dari hambatan
masuk dan keluar, impor dan ekspor. Perdagangan antar negara tidak seperti
perdagangan di dalam suatu negara; dalam perdagangan antar negara ada bea masuk
impor yang dikenakan terhadap barang-barang luar negeri yang masuk ke negara
lain, di samping ada juga pajak ekspor yang dikenakan atas penjualan barang ke
luar negeri.
Hambatan-hambatan keluar masuk
barang seperti itu disebut hambatan tarif. Di samping hambatan tarif ada juga
hambatan non-tarif, yang dirancang untuk membatasi masuknya barang-barang
impor, seperti kuota impor barang tertentu yang dimaksud untuk membatasi jumlah
barang tersebut yang boleh diimpor, persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
agar suatu barang impor boleh masuk, subsidi kepada produsen dalam negeri, dsb.
Hambatan-hambatan seperti itu dimaksudkan untuk melindungi produsen dalam
negeri supaya pasarnya jangan direbut oleh produsen luar negeri.
Menurut para ekonom Barat
hambatan-hambatan dalam perdagangan antar negara membuat perdagangan antar
negara tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya, sehingga pertumbuhan ekonomi
dunia tidak mencapai tingkat yang maksimal. Menurut mereka perekonomian dunia
akan lebih optimal jika hambatan-hambatan tersebut dihilangkan atau
diminimalkan. Dengan adanya perdagangan bebas maka tiap negara hanya akan
memproduksi barang dan jasa dimana mereka mempunyai keunggulan komparatif. Jika
tiap negara berproduksi di bidang-bidang spesialisasinya maka akan diperoleh
hasil keseluruhan yang optimal. Jika Indonesia lebih efisien dan dalam membuat
sepatu, sedang Malaysia lebih ahli dalam membuat pakaian; maka jika kedua
negara berspesialisasi di bidangnya masing-masing, total output kedua negara
akan jauh lebih besar dibandingkan jika keduanya memproduksi baik sepatu maupun
pakaian. Dan dengan argumen seperi itu para ahli ekonomi tertentu mendorong
dibentuknya zona-zona perdagangan bebas, sebagai permulaan dari perdagangan
bebas antar seluruh negara di dunia. Dengan adanya perdagangan bebas seperti
ini maka produktivitas dunia akan naik pesat.
Tetapi ada satu hal yang cenderung
kurang diperhatikan dalam argumen mereka. Yaitu bahwa kualitas sumberdaya
manusia, total faktor produksi yang tersedia dan infrastruktur masing-masing
negara itu tidak setara, khususnya antara negara-negara berkembang dan
negara-negara maju. Perbedaan ini akan membawa konsekuensi yang kurang
menguntungkan bagi negara-negara berkembang, sebaliknya sangat menguntungkan
bagi negara-negara maju.
Dalam suatu perekonomian pasar
bebas, hanya produsen-produsen yang efisien yang bisa bertahan. Jika mereka
tidak efisien dalam menggunakan faktor-faktor produksi, atau jika harga
faktor-faktor produksi mereka mahal, maka biaya produksi akan tinggi dan
berakibat harga jual produk mereka akan relatif mahal. Apa sebabnya
faktor-faktor produksi mahal? Karena kelangkaan dari faktor produksi tersebut;
sesuai dengan hukum pasokan dan permintaan, jika pasokan kurang maka harga
menjadi naik. Misalnya faktor produksi tenaga kerja, jika tenaga kerja tersebut
kurang produktif maka tenaga kerja tersebut ‘langka’, bukan dalam arti
kuatitasnya tetapi dari hasil kerjanya yang kurang; jika seorang pekerja tidak
produktif maka dia menjadi ‘mahal’. Karena biaya tenaga kerja mahal maka harga
hasil produksinya juga mahal. Karena harga mereka mahal maka mereka tidak laku,
unit usaha tersebut akan tutup, dan para pekerjanya juga kehilangan pekerjaan.
Hal ini merupakan mekanisme pasar
untuk membuat faktor-faktor produksi digunakan dengan efisien dan untuk
menghasilkan barang-barang yang diinginkan oleh konsumen. Dengan tutupnya
usaha-usaha yang tidak efisien maka faktor-faktor produksi, seperti tenaga
kerja, dialihkan untuk memproduksi barang dan jasa lain yang diinginkan pasar,
pada tingkat harga yang dapat diterima oleh pasar. Dan demikian juga para
pekerja yang ‘mahal’ karena kurang produktif tersebut akan ditempatkan di
tempat lain yang memproduksi barang dan jasa yang kurang membutuhkan keahlian
dan pengetahuan. Dengan kata lain tenaga kerja yang kurang berkualitas akan
ditempatkan ditempat lain yang lebih sesuai dengan kualifikasi mereka, dan
tentunya dengan imbalan yang juga lebih kecil.