“Ibu
merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir – bibir manusia. Dan
“Ibuku” merupakan sebutan terindah. Kata yang semerbak cinta dan impian, manis
dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.” Kahlil Gibran
Namaku
Dewantara Alexandria. Orang-orang di sekitarku memanggilku dengan nama
Tara. Aku sebenarnya lebih suka di panggil Alex ketimbang Tara. Alasannya
karena Tara itu kesannya nama cewek. Aku 22 tahun dan saat ini aku menjadi
seorang penulis lepas di beberapa majalah dan sekaligus aktivis sosial.
Aku
kos di salah satu sudut pinggiran kota Jakarta. Bukan kos mewah. Hanya sebuah
kamar ukuran 2×3 meter tanpa perabot sama sekali. Kata orang ada harga ada
mutu. Aku sudah terbiasa tidur dengan keadaan berkeringat saking panasnya. Atau
di tatap sinis sama ibu kos gara-gara telat bayar uang bulanan. Menahan lapar
bahkan tidak makan berhari-hari adalah hal yang biasa bagiku. Yang penting bisa
minum. Minum air sumur atau kran di toilet umum jika dalam keadaan terpaksa.
Itulah penyebab kenapa aku jadi kurus. Kata teman-temanku kurus kering seperti
ikang kering yang dijemur. Apa lagi kalau lagi dikejar deadline sementara ide
di kepala lagi macet total seperti pemdandangan sehari-hari di kota Jakarta.
Tapi aku menikmati semuanya itu. Wajahku pas-pasan. Hanya kata orang aku
memiliki sorot mata yang tajam dan kulit sawo matang yang aku warisi dari
ibuku.
Satu
hal yang aku pelajari dari hidup ini adalah “hidup untuk memberi
sebanyak-banyaknya bukan hanya untuk menerima sebanyak-banyaknya.” Itu alasan
kenapa aku mau memutuskan untuk menjadi seorang aktivis sosial. Aku tidak
terlahir dari keluarga yang mewah. Aku hanya dilahirkan dan dibesarkan dari
keluarga yang sederhana dan penghasilan orang tuaku cukup hanya untuk makan sehari-hari.
Aku memutuskan meninggalkan rumah ketika kedua orang tuaku tidak setuju dengan
keinginanku untuk menjadi aktivis sosial.
“Kita
ini bukan orang kaya, nak! Tapi kalau itu keinginannmu, lakukanlah.” ucap
ibuku.
“Makan
saja susah. Bagaimana mau menolong orang lain?” imbuh ayahku dengan tampang
ketidak setujuannya.
“Tapi
ini jalan yang Tara pilih, pa.”
“Tara,
kamu itu pintar! Kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah.”
“Tara
bisa menuntut ilmu dimana saja, pa. Tanpa harus kuliah. Percayalah, Tara ngga
akan menyusahkan papa dan mama,” aku mencoba memberikan penjelasan.
Ruang
tamu malam itu mendadak hening. Di luar sana rembulan tampak malu-malu
memancarkan pesonanya.
“Kamu
tinggal pilih. Kamu tetap mau menjadi aktivis sosial atau kerja sambil kuliah?”
Aku
kaget dengan ucapan ayahaku. Aku tahu aku bisa kuliah sambil kerja dan
sekaligus menjadi seorang aktivis sosial tapi aku belum tertarik untuk kuliah.
Kerja? Sarjana aja banyak yang menganggur apa lagi aku yang hanya lulusan SMA?
Hatiku sudah bulat untuk menjadi aktivis sosial.
“Jawab?”
bentak ayahku dengan nyaring dan penuh ketegasan.
“Tara
tetap dengan keputusan Tara untuk menjadi aktivis sosial,” ucapku sambil
melihat ibuku yang tertunduk menahan air matanya.
“Kalau
begitu, kamu bisa tinggalkan rumah ini. Malam ini juga!”
Bagaikan
petir di siang bolong menyambar hatiku mendengar ucapan ayahku. Aku tahu ayahku
tidak akan mengubah keputusannya. Aku tahu jika beliau sudah mengatakan A maka
yang terjadi harus A. Hanya Tuhan yang sanggup mengubah keputusan itu. Mungkin
satu-satunya kesamaan yang aku punya dengan ayahku adalah kami sama-sama keras
kepala. Sepertinya hanya itu yang aku warisi dari ayahku. Selebihnya dari ibuku
apa lagi bentuk fisik seperti warna kulit dan rambut lurus.
Aku
beranjak meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamar untuk mengemasi bajuku.
Ibuku menyusul masuk ke kamar.
Dengan
spontan aku memeluknya.
“Kamu
mau tinggal dimana?”
“Ma,
ngga usah kuatir, aku akan baik-baik saja. Aku hanya butuh doa mama. Hanya
itu.”
“Besok,
mama akan bilang apa kalau adik-adikmu mencari kamu?”
Aku
melepaskan diri dari pelukan ibuku. Aku mengusap air matanya. Aku tidak ingin
dia menangis meski aku sendiri berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.
“Katakan
saja aku pergi untuk memenuhi panggilan hidupku.”
“Kamu
dan papamu sama-sama keras. Mama tidak bisa meluluhkan hati kalian berdua.”
Aku
kembali memeluk ibuku. Setelah puas aku mengemasi pakaianku seadanya. Aku
membuka lemari pakaian yang sudah tua dimakan rayap. Disana hanya tergantun
seragam SMAku yang penuh coretan dan 2 kaos oblong serta satu celana jeans. Di
sisi lainnya hanya ada pakaian sehari-hariku yang bisa dihitung jari. Aku
memasukan semuanya itu ke dalam ranselku yang warnanya sudah luntur.
Ibu
hanya duduk lesuh di ranjangku. Aku menghampirinya.
“Mama
jangan sedih ya! Tara janji akan membuat mama bahagia. Mama akan tersenyum
dengan pilihan hidup Tara. Sayapku sudah tumbuh, aku ingin terbang. Merebut
kemenangan di mana pun adanya. Aku akan pergi untuk kembali, ma.
Janganlah menangis. Biar kucari jalanku sendiri.”
“Mama
percaya dengan kamu Tara,” ucap ibu lalu menanggalkan satu-satunya perhiasan
yang dia punya. Cincin yang selalu dikenakannya. Cincin yang aku sendiri tidak
tahu sejak kapan dia memakainya.
“Mama
hanya punya ini. Ambillah. Kamu bisa menjualnya untuk kebutuhanmu. Mama tidak
punya uang. Hari ini untuk makan saja, mama harus pinjam sekaleng beras dengan
tetangga. Pesan mama, bukan seberapa besar yang bisa kita beri kepada orang
lain tapi seberapa besar hati kita pada waktu memberi dan melakukan sesuatu.”
Aku
memeluk erat ibuku kembali. Pelukan yang sampai hari ini masih terasa. Pelukan
seorang ibu yang penuh dengan kasih sayang. Pelukan seorang anak kepada ibunya.
Ibu yang pernah berjuang mati-matian untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.
Ibu
yang selalu dan selalu berusaha membelikan aku dan adik-adikku kue kecil di
setiap momentum penting. Ibu tidak pernah kekurangan akalnya, bagaimana di
setiap ulang tahun kami ada kue kecil sebagai pengganti kue ulang tahun.
Ibu berusaha menghemat sekuat tenaga uang dapur yang ada. Ah… Ibuku
memang kreatif. Apa lagi kalau merangkai kata-kata indah. Kata-kata yang
menjadi cambuk bagiku untuk terus maju meski dalam keadaan terpuruk sekali pun.
Aku
masih ingat ketika pulang sambil mennagis karena nilau ujianku merah. Ibu hanya
berkata, “Tidak ada orang yang bodoh di dunia ini,yang ada hanya orang yang
pintar dan belum pintar. Nilai bukan segalanya tapi bagaimana kamu
berusaha sebisa kamu. Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda.Ada yang
pintar dan ada yang belum pintar.Dan penddikan bertugas mengubah yang pintar
menjadi lebih pintarSerta yang belum pintar menjadi pintar.”
“Malam
ini Tara akan nginap di rumah Marcel. Besok Tara akan cari kos.”
“Sudahlah.
Kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin mama. Burung pipit pun tahu kalau
dia harus tetap bisa hidup sekalipun harus mematuki sisa padi di lumbung
sang petani. Mau atau tidak mau ,hidup ini ada untuk dihidupkan. Oleh
karena itu kamu hidup dengan bernafas, maka hidupkanlah nafasmu.”
Hati
kecilku terasa perih. Aku tidak punya handphone lagi. Aku menjualnya dua hari
yang lalu untuk biaya sekolah adikku. Handphone yang aku dapatkan sewaktu
menang menulis cerpen di salah satu majalah remaja terkenal. Bagaimana aku bisa
mengabarinya kalau ada apa-apa? Dan bagaimana dia akan menghubungiku kalau ada
apa-apa di rumah?
Beliau
diam. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan namun penuh
semangat dan kekuatan.
“Buktikan
pada dunia termasuk papamu. Kamu adalah sang pemimpi sejati. Ayunkan
kakimu untuk mencoba meraih khayalanmu yang tertinggi. Kamu adalah pejuang
hidupmu yang suka resiko. Kamu harus tahu, hidup ini penuh resiko
dan tantangan. Ibu ingin melihat kamu merubah mimpi dan hayalmu menjadi
realita yang menjadi karya abadi. Bukan imajinasi juga gambaranmu semata.
Ibu percaya kamu bisa, Tara. Jika hatimu terasa gundah
maka berbaringlah dalam kesunyianmu. Jika hatimu tak lekas
cerah maka pejamkan matamu dan tidurlah. Bawa dirimu terbang dan
melayang dalam indah dunia mimpi. Pejamkan dan bawa dirimu ke alam mimpi.
Ketika kau telah sampai di alam mimpi, melayang dan bergembiralah di
sana.Bermainlah dengan peri-peri kecilmu. Jika kamu telah lelah
bermain. Jika hatimu telah riang, buka mata dan bangkitlah dari
mimpimu karena ada orang-orang yang menantimu untuk merasakan belai
kasihmu. Jangan pernah sia-siakan dunia ini kosong tanpa sentuhan hangat
darimu, Tara.”
Aku
sangat suka sewaktu aku kecil ibu selalu memotivasiku dengan cerita dongengnya.
Ketika aku beranjak dewasa, ibu selalu menguntai kalimat indah dari bibirnya
sebagai pengganti dongeng sebelum tidur.
Selesai
mengemasi semua pakaian, aku beranjak ke ruang tamu di temani ibu. Aku ingin
pamit dengan papaku. Tapi belum sempat aku menghampirinya, beliau langsung
beranjak pergi meninggalkan rumah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku berusaha
untuk tegar. Aku memasuki sebuah kamar di mana adik-adikku tidur dengan
berdesak-desakan. Ada Sastra, Agnes dan si kecil Moses. Aku menatap wajah
mereka satu persatu. Wajah polos yang tak berdosa.
“Aku
selalu merindukan, mama,” ucapku lirih ketika mencium dahinya yang penuh
kerutan untuk pamit.
“Kalau
kamu merasa lelah dan tak berdaya dan saat segala usaha sepertinya sia-sia.
Tuhan tahu, kamu sudah berusaha. Ketika kamu lelah menangis sekian lama
dan hatimu masih terasa pedih. Tuhan telah menghitung air matamu. Jika
kamu tahu bahwa kamu sedang menunggu sesuatu namun waktu serasa berlalu begitu
saja. Tuhan juga sedang menunggu bersama denganmu, bersama berjalannya
waktu. Ketika kamu merasa sepi dan sendiri sementara orang-orang terlalu
sibuk dengan diri masing-masing. Tuhan selalu berada di sampingmu,
menemanimu. Ketika kamu pikir bahwa kamu telah mencoba segalanya dan tidak
tahu hendak berbuat apa lagi, bersabarlah. Tuhan pasti punya
jawabannya. Saat hatimu terasa tertekan, akal dan pikiranmu tak dapat
menerima segalanya. Tuhan akan menenangkanmu. Saat kau dapat melihat
secercah harapan yakinlah, saat ituTuhan sedang berbisik kepadamu. Saat
kamu ingin bersyukur,sebelum kata syukur itu terucap, Tuhan telah menerima syukurmu. Ketika
sesuatu yang indah terjadi dan kamu tersenyum dengan apa yang terjadi. Tuhan
sedang tersenyum padamu. Ketika kamu memiliki tujuan dan mimpi untuk
dipenuhi. Tuhan sudah membuka matamu dan dengan memanggil namamu. Ketika
kamu terlupa dan berpaling, Tuhan tetap mengingatmu. Ketika kamu sadar dan
ingin kembali, Tuhan akan selalu menerimamu. Seperti itulah juga ibu kepadamu,
Tara.”
Aku
tidak pernah menyalahkan Tuhan kalau aku terlahir di keluarga yang pas-pasan.
Aku justru bersyukur. Meski keluargaku tidak memiliki harta yang mewah tapi
setiap hari kami masih bisa bersyukur dan tetap bersukacita. Untuk apa memiliki
harta kalau itu ternyata didapatkan dari cara yang tidak benar?
Dari
ibuku aku belajar tentang arti memberi dan berkorban.
“Yang
membedakan antara memberi dengan berkorban adalah rasa sakit. Ketika kamu
memberi dan itu terasa sakit maka itulah yang namanya pengorbanan. Orang yang
memberi belum tentu berkorban tapi mereka yang berani berkorban adalah mereka
yang memberi dengan cara yang terbaik.” Itulah jawabannya dulu, ketika ku
menanyakan tentang perbedaan antara memberi dan berkorban.
Dengan
langkah yang pasti aku melangkah meninggalkan rumahku. Dari jalan setapak, aku
memalingkan wajahku. Di rumah tua itu aku melihat lambaian dan senyuman ibuku.
Lambaian tangan dan senyuman yang tak akan pernah aku lupakan sampai hari ini.
Aku memantapkan langkahku dengan sebuah itikad di hatiku, “Sudah saatnya
aku berani berdiri tegak pada kehidupanku dan bukan saatnya lagi aku merengek
pada susah kehidupanku. Sudah saatnya aku pilih jalan berjuang bukan
bertahan. Itulah artinya HIDUP.”
Ibuku
adalah penopang dikala aku rapuh, rujukan dikala semuanya suram. Hanya
tangisku sebagai saksi atas rasa cintaku padanya.
Dalam
setiap malam ada doa yang kupanjatkan pada Sang Maha Kuasa untuk ibu.
“Berilah
ibu balasan yang sebaik-baiknya atas didikan dan kasih sayang yang ibu
limpahkan untukku. Lindungi dan peliharalah ibu sebagaimana ibu melindungi dan
memeliharaku. Ya Tuhan, setiap penderitaan yang telah ibu rasakan akan Engkau
perhitungkan untuk memberkatinya. Dalam tangan-Mu yang agung. Aku menyerahkan
ibuku ke pada-Mu yang telah menciptakanku dan Ibu dari debu tanah. Amin.”
TAMAT
SUMBER klik disini
0 komentar:
Posting Komentar
monggo komentarnya...!